Repost dari thread saya di Facebook tertanggal 27 September 2020 Jam 20.45 WIB

Beberapa jam terakhir bersliweran tread tentang prediksi gempa di lini masa Facebook maupun di beberapa grup yang saya ikuti. Sebetulnya apa sih prediksi gempa itu? Ok, menurut definisi yang tertulis di laman USGS (https://www.usgs.gov/faqs/can-you-predict-earthquakes…) suatu prediksi gempa seharusnya menyebutkan dengan spesifik tiga hal berikut ini:

1) tanggal dan waktu kejadian (DDMMYY HH:MM)

2) lokasinya , dan

3) kekuatan gempa (magnitudo).

Nah, jika ada prediksi gempa namun tidak mencantumkan semua hal di atas (sekali lagi semua hal alias ketiga hal di atas), maka sudah jelas info tersebut tidak dapat dikatakan sebagai prediksi.

Lalu bagaimana jika ada yang membuat prediksi yang sangat umum sehingga akan selalu ada gempa yang cocok atau masuk dalam kategori prediksi tersebut? Contohnya seperti berikut ini : “Akan terjadi gempa M4 di suatu tempat antara Aceh hingga Lombok dalam beberapa hari ke depan”.Seperti kita tahu, gempa M4 terjadi hampir setiap hari di zona subduksi yang membentang dari pesisir barat daya Aceh hingga ke laut di selatan kepulauan Nusa Tenggara. Artinya tanpa diprediksi sekalipun, kejadian gempa M4 di sana sudah menjadi keniscayaan umum. Nah, para pencetus “prediksi” tadi biasanya akan melakukan klaim prediksi mereka berhasil jika gempa bumi terjadi dalam range waktu, tempat, dan magnitude yang sesuai dengan prediksi mereka. Padahal sekali lagi, prediksi yang dicetuskan tersebut adalah suatu keniscayaan umum dalam tataran range tadi.

Selain definisi yang “ramah publik” dari USGS di atas, Max Wyss juga membuat definisi mengenai prediksi gempa yang bahkan lebih ‘strict’ dibandingkan definisi milik USGS. Definisi milik Max Wyss ini mungkin lebih ditujukan untuk para ahli kebumian yang mendalami prediksi gempabumi. Berikut definisi prediksi gempabumi menurut Max Wyss:

“An earthquake prediction needs the following parameters to be specified with errors less than or equal to those indicated: the location ±1/2 rupture length, the size ±1/2 rupture length or ±0.5 magnitude units, the time ±20% recurrence time, and the probability of occurrence, e.g. the number of successes divided by the sum of successes and false alarms. To date, we cannot predict earthquakes if we follow the strict definition given above.”

(M. Wyss, Evaluation of proposed earthquake precursors (American Geophysical Union,Washington D.C. 1991))

Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kira-kira bunyinya demikian:“Suatu prediksi gempa membutuhkan beberapa parameter yang dicantumkan secara spesifik dan mempunyai nilai error kurang dari atau sama dengan yang tercantum berikut: Lokasi gempa margin error +- ½ Panjang rupture, Ukuran/kekuatan gempa margin error +- ½ Panjang rupture atau +- 0,5 unit magnitude, Waktu kejadian, margin error +- 20% waktu kejadian, dan Probabilitas kejadian (jumlah prediksi sukses dibagi dengan jumlah prediksi sukses dan prediksi gagal). Jika kita mengikuti definisi ketat di atas maka sesungguhnya hingga saat ini kita belum bisa memprediksi kejadian gempa.“ (M. Wyss, Evaluation of proposed earthquake precursors (American Geophysical Union, Washington D.C. 1991)).

Lalu bagaimana sesungguhnya perkembangan prediksi gempabumi di kalangan ahli kebumian? Well, tentu saja banyak riset yang mencoba memecahkan masalah prediksi gempa bumi ini. Banyak jalan yang ditempuh ilmuwan dalam usahanya menguak misteri kejadian gempa bumi dan kemungkinan untuk memprediksinya. Ada yang mendekati dari tinjauan seismisitas seperti yang dilakukan melalui model ETAS, ada yang meninjau dari sudut pandang gangguan gelombang eletromagnetik, anomaly emisi radon, perubahan tekanan air tanah, dan banyak lagi. Sayangnya hingga saat ini, belum ada satu pendekatan pun yang dapat menghasilkan prediksi secara tepat dan konsisten. Masih terlalu banyak ketidakpastian dalam prediksi gempabumi, terlalu banyak parameter yang kita tidak ketahui nilai pastinya, bahkan mungkin ada parameter yang belum pernah kita kuantifikasi sama sekali dalam studi kita.

Namun demikian, bukan berarti kita jadi antipati terhadap studi prediksi gempa. Sebaliknya, studi semacam ini justru harus didukung. Mengapa? Bayangkan saja, jika studi macam ini berhasil, umat manusialah yang akan menikmati manfaatnya! Hal lain yang tidak kalah penting, studi prediksi gempa yang dilakukan juga harus mengikuti kaidah saintifik yang valid, sedapat mungkin menerapkan pendekatan multidisiplin, dan harus membuka ruang diskusi seluas-luasnya. Diskusi dan peer review yang penuh kritik dan saran membangun adalah salah satu cara paling ampuh untuk mengasah ketajaman riset kita. Di era keterbukaan sekarang, akan sangat anggun dan elegan jika studi yang berdampak pada hajat hidup orang banyak dijalankan dengan cara seperti itu. Mekaten. ?

Oleh Ade Anggraini – Seorang seismolog random dari Indonesia